Rabu, 30 Oktober 2013

5. Hari Gini Korupsi Pajak...


ADA yang terlupakan ketika publik asyik mengikuti bongkar membongkar kasus mafia pajak yang menyeret banyak pihak, yakni iklan (ajakan membayar) pajak: ”Lunasi Pajaknya, Awasi Penggunaannya”. Sepintas iklan itu menarik, mengundang partisipasi publik berupa dorongan untuk ikut mengawasi penggunaan pajak setelah melunasinya. 

Selama ini, iklan tersebut dinilai cukup mendidik. Namun publik tercengang setelah kasus mafia pajak terungkap. Ternyata  kebocoran terbesar dalam dunia perpajakan bukan terletak pada penggunaannya melainkan pada penerimaan pajak. 

Seperti disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahwa wajib pajak yang seharusnya membayar 100 persen  dari kewajibannya, tetapi hanya membayar 60%. Yang 60 % itu dikongkalikongi lagi oleh oknum perpajakan. Akhirnya yang masuk ke negara hanya 20-30%. 

Bila apa yang disampaikan SBY tersebut benar berarti teramat besar kebocoran di sektor penerimaan pajak. Kita bisa bayangkan APBN 68,3% dibiayai oleh penerimaan sektor pajak. Tahun 2009 penerimaan pajak dipatok Rp 621 triliun dan ntuk tahun 2010 mengalami kenaikan.

Logikanya jika 20-30%-nya saja sudah sedemikian besar lalu betapa besar jumlah pajak bila diterima 100%. Atau kalau boleh mengandaikan dibalik, yang 20-30% dikorupsi dan 70%-nya saja masuk kas negara, tentu kita tidak perlu utang luar negeri. Pemasukan pajak melebihi kebutuhan APBN. 

Bangsa ini akan hidup kaya raya atau  setidak-tidaknya kehidupan rakyat mayoritas sudah berada di atas garis kemiskinan. Tidak ada TKI atau TKW ke luar negeri karena rezeki mereka ada di dalam negerinya sendiri. 

Iklan ”Lunasi Pajaknya, Awasi Penggunaannya” adalah pola kampanye yang  sesat nalar. Iklan tersebut mengisyaratkan pesan bahwa institusi perpajakan adalah institusi yang bersih dari korupsi. Karena merasa bersih maka publik diarahkan agar ikut mengawasi penggunaan pajak yang diterima kantor pajak. 

Iklan tersebut juga mengisyaratkan persoalan penerimaan atau pemasukan pajak jangan diawasi sebab pegawai pajak adalah ”malaikat” yang tidak butuh uang, berbeda dari institusi-institusi pemerintah lainnya yang menggunakan hasil pajak. Semua haus uang.

Selama ini publik terninabobokan bahwa sektor penerimaan pajak sudah bersih dari korupsi. Gaji pegawai Depkeu sudah dinaikkan cukup signifikan melalui remunerasi sehingga asumsinya tidak mungkin korupsi. Bahkan oleh  Menkeu Sri Mulyani, lembaga keuangan termasuk di dalamnya Ditjen Pajak, dibangga-banggakan menerapkan sistem yang kedap korupsi. 
Namun apa yang terjadi? Ternyata tingginya remunerasi  tidaklah menjamin institusi tersebut kedap korupsi. Teori-teori yang selalu mengemuka bahwa korupsi selalu identik dengan rendahnya gaji ternyata tidak selalu benar diterapkan di Indonesia. 
Teori Kesejahteraan Teori itu tidak mempan untuk memberantas korupsi sebab budaya bangsa Indonesia itu unik,  semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi selera. Tidak seperti teori kesejahteraan yang selama ini dikumandangkan bahwa semakin tinggi gaji pegawai semakin tenang dan profesional  kerjanya. Di samping iklan ”Lunasi Pajaknya, Awasi Penggunaannya”, masih ada iklan yang tersebar terkait bagaimana memotivasi wajib pajak agar segera melunasi kewajibannya. 

Salah satunya ”Hari Gini Belum Bayar Pajak, Apa Kata Dunia?” Iklan ini mengandung pesan bahwa di dunia yang sudah demikian transparan, jika masih ada yang mengemplang pajak, maka perbuatannya itu sangat tercela dan mengurangi kredibilitas.

Hanya saja, iklan-iklan yang dikelurkan lembaga perpajakan itu diperuntukan bagi  wajib pajak. Lalu bagaimana dengan integritas insan-insan perpajakan, apakah mereka berani membikin iklan ”Hari Gini Masih Korupsi Pajak, Apa Kata Dunia?”  atau ”Tangkap dan Laporkan apabila Ada Petugas Pajak Korupsi/ Memanipulasi”.       
         
Lalu iklan-iklan untuk dorongan dan jaminan bahwa penerima pajak benar-benar bekerja maksimal dan dapat dipercaya juga tidak ada. Tidak ada satu pasal pun dalam UU Perpajakan yang jelas-jelas menjelaskan sanksi bagi pegawai yang mengorupsi penerimaan pajak. Tidak salah bila ada yang bertanya,” Hari Gini Korupsi Penerimaan Pajak, Apa Kata Dunia?” atau lebih ekstrem lagi,” Untuk Apa Bayar Pajak kalau Akhirnya Dikorupsi”. Melihat fakta seperi ini mestinya Ditjen Pajak mau instropeksi, iklan-iklan yang dipasang jangan sampai menyesatkan masyarakat. 

Selama ini masyarakat dibodohi dengan berbagai macam slogan yang tidak mencerdaskan. Masyarakat selalu ditakut-takuti dengan pasal-pasal pidana kalau tidak membayar pajak. Namun apa konsekuensinya ketika sedemikian besar penerimaan uang pajak dikorupsi pegawai instansi itu?

Sumber :



Analisis :

            Menurut saya perbuatan tersebut sangat memalukan dan tidak pantas, karena dilakukan oleh pegawai pajak itu sendiri. Karena Tingkat kepercayaan yang tinggi dari wajib pajak tentunya sangat  berpengaruh pada penerimaan pajak. Penerimaan pajak yang tidak mencapai target disinyalir salah satunya disebabkan oleh kasus-kasus korupsi yang melibatkan pegawai pajak. 
            Lalu untuk apa gunanya memasang iklan dan slogan tentang pajak untuk masyarakat , jika uang yang disetorkan ternyata dikorupsi oleh pegawai pajak itu sendiri. Menurut saya itu sama saja mempermainkan para wajib pajak. Baru sebagian masyarakat yang patuh membayar pajak saja dananya sudah dikorupsi sebanyak itu, bagaimana kalau semua masyarakat Indonesia ? Mungkin saja pegawai pajak bukannya  jera tetapi justru semakin gencar menyedot dana pajak yang disetor masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar